Cerpen Cintaku Bukan Empedu Part #01 Tien Kumalasari

Disebuah area pemakaman, seorang gadis dengan pakaian lusuh terisak menangis disamping gundukan tanah yang masih basah. Bunga yang tertabur, memang tak seberapa banyak. Tapi aroma wanginya membuat si gadis masih terus mengingat kepergian neneknya.
Aliyah, nama gadis itu, adalah gadis sebatang kara. Ia tak lagi memiliki orang tua, sejak masih kanak-kanak, karena kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah bencana banjir yang terjadi di kampungnya. Ia hanya dirawat sang nenek, yang menjadi pembantu di sebuah rumah tangga, membesarkannya dan menyekolahkannya, hanya sampai lulus SMP. Tapi sang nenek sudah tua, dan sakit-sakitan. Yang akhirnya meninggal saat Aliyah menginjak dewasa.
Aliyah benar-benar tak memiliki siapa-siapa lagi.Hari sudah menjelang sore, tapi air matanya tak henti mengalir. Aliyah tak hendak meninggalkan tempat dimana neneknya dikuburkan.
“Nenek, aku hanya punya Nenek, tapi Nenek akhirnya juga meninggalkan aku. Lalu aku harus hidup bersama siapa Nek? Bawalah aku bersamamu, Nek. Bawalah aku,” isaknya terus menerus.
Beberapa pelayat telah meninggalkan tanah pemakaman itu sejak sang nenek dikuburkan. Ia tak peduli panas menyengat tubuhnya, ia terus saja menangis dan meremas-remas tanah gundukan itu. Tanpa terasa hari mulai remang, seseorang menyentuh bahu Aliyah.
“Nak, hari mulai gelap. Pulanglah.”
Aliyah mengusap air matanya dengan lengan bajunya. Ditatapnya laki-laki setengah tua yang berdiri di sampingnya. Ia adalah penjaga makam.
“Pulanglah Nak, yang sudah pergi, akan tetap pergi, karena Allah telah memanggilnya. Kamu harus ikhlas. Doakan dia agar mendapat pengampunanNya, dan agar Allah menempatkannya di sorgaNya yang mulia.”
“Saya harus menemani nenek. Setiap hari saya menemani nenek. Saat dia sehat, ketika dia sakit,” jawab Aliyah pilu.
“Benar. Tapi sekarang dia tidak butuh kamu temani. Dia butuh keikhlasan dan doa. Sampai air matamu kering, nenek kamu tidak akan kembali kan? Senangkan hati nenek, dengan doa dan selalu berdoa untuknya.”
Kata-kata penunggu makam itu sangat lembut dan membuatnya teringat kembali pada sang nenek, membuatnya kembali menangis.
“Hentikan tangismu Nak. Tangis itu hanya akan membuat langkah nenekmu tersendat. Kasihan dia.”
Aliyah kembali mengusap air matanya. Benarkah perjalanan neneknya akan tersendat kalau dia menangisinya?
“Pulanglah, di mana rumahmu?”
“Tapi nenek sendirian di sini,” isaknya lagi.
“Nak, tidak ada gunanya kamu terus menemaninya di sini. Berdoa, itu akan mengiringi kepergiannya. Ikhlaslah Nak.”
Hari semakin gelap. Aliyah menatap ke sekeliling, semuanya tampak remang. Batu-batu nisan menghitam, pohon-pohon menghitam. Daun-daunnya juga menghitam. Seperti hati Aliyan yang gelap hitam. Tapi kemudian dia mencoba berdiri.
“Apa rumahmu jauh?”
Aliyah menggelengkan kepalanya. Ia kemudian melangkah pergi, meninggalkan sang penunggu makam, yang menatapnya iba.
Laki-laki tua itu selalu melihat kesedihan di setiap acara pemakaman. Selalu ada tangis. Selalu ada penyesalan. Tapi hal biasa itu tidak pernah mengusik kehidupannya. Ia menjalaninya, seperti apa yang dikatakannya pada Aliyah, ikhlas. Dan itu membuatnya tenang.
***
Aliyah memasuki rumah butut peninggalan neneknya. Sunyi dan lengang mencekam jiwanya. Tak ada teriakan memanggil. Yah, ambilkan aku minum, Yah, tidurlah, hari sudah malam. Yah, makanmu sudah nenek sediakan. Yah, perut nenek sakit sekali, adakah minyak gosok?
Aliyah kembali mengucurkan air mata. Duka masih menyelimutinya. Rasa kesendirian membuatnya terus meratapi nasibnya.
Ia melihat ke sekeliling ruangan. Kursi dan gelas-gelas yang tadi disediakan oleh ketua RT dan para tetangga, sudah dibersihkan.
Malam telah datang. Aliyah duduk di serambi sambil menatap langit yang penuh bertabur bintang. Sepotong rembulan tampak mengambang, lalu Aliyah melihat wajah neneknya di sana, sedang tersenyum ke arahnya.
“Yah, hapus air matamu, nenek tidak suka melihat kesedihanmu,” ada bisikan yang entah dari mana datangnya, menggelitik telinganya. Suara nenek? Entahlah, yang jelas adalah suara hatinya yang paling dalam, yang berusaha mengendapkan gejolak duka yang merayapinya.
“Nenek, alangkah indahnya langit bertabur bintang. Apakah nenek juga merasakan keindahan itu?"
"Iyah tahu, Nenek sayang sama Iyah, tapi Allah telah memanggil Nenek. Pasti Nenek sudah lelah menemani Iyah, merawat Iyah. Baiklah Nek, istirahatlah dengan tenang. Iyah tak akan menangis lagi. Iyah akan melanjutkan hidup Iyah, entah bagaimana caranya. Masihkah Nenek bisa berdoa untuk Iyah? Kalau masih, doakan Iyah ya Nek. Tapi selalu seperti pesan Nenek sebelum Iyah tidur, Iyah akan selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Meminta apapun pada Tuhan. Ya kan Nek? Iyah pasti melakukannya."
“Aliyah,” sebuah panggilan mengejutkan Aliyah.
“Pak RT sama ibu?” sapa Aliyah sambil mengusap air matanya.
“Sudah Yah, nenek sudah tenang di sana, jangan ditangisi terus. Kami juga ikut sedih kehilangan nenek kamu,” kata bu RT sambil menepuk bahu Iyah.
Mereka duduk di serambi rumah, Aliyah menemui kedua tamunya sambil menundukkan wajahnya.
“Iyah, aku ke sini untuk menyerahkan ini,” kata pak RT sambil menyerahkan sejumlah uang.
“Ini … apa, pak RT?”
“Ini uang duka dari para pelayat, terimalah. Barangkali kamu memerlukannya.”
Aliyah menerima uang dengan tangan gemetar.
“Yah, untuk sementara kamu bisa makan dan mencukupi kebutuhanmu dengan uang yang tak seberapa ini. Pakailah, anggap saja ini peninggalan nenek kamu,” sambung bu RT.
“Terima kasih …”
“Kalau kamu butuh sesuatu, datanglah pada kami,” kata pak RT.
“Saya ingin bekerja, bisa kah?”
“Kamu lulusan apa?”
“Hanya SMP,” jawab Aliyah lirih.
“Kalau bekerja di rumah makan mau?”
“Apapun saya mau Pak, untuk melanjutkan hidup saya.”
“Tapi karena pendidikan kamu, mungkin kamu hanya bisa bantu-bantu, atau jadi pelayan, begitu.”
“Iya Pak. Apapun.”
“Nanti aku akan bilang pada salah seorang kenalan yang menjadi pegawai di sebuah restoran. Restorannya besar, tapi aku tidak tahu, butuh pembantu atau tidak.”
“Saya akan menunggu.”
“Ya sudah Iyah, ini sudah malam, kamu istirahatlah ya, kamu pasti juga sudah lelah,” sambung bu RT lagi.
“Iya, segera tidur, udara diluar saat malam, kurang baik untuk kesehatan kamu,” kata pak RT sambil berdiri.
Aliyah hanya mengangguk, menatap pak RT dan istrinya sampai menghilang dibalik pagar.
Aliyah masuk ke dalam rumah, mengunci pintunya dan masuk ke dalam kamarnya yang sempit. Aroma kembang masih tercium, menyadarkan Aliyah bahwa dia telah sendiri.
***
Aliyah bangun saat pagi merekah, karena ia nyaris tak bisa memejamkan mata. Ia melangkah ke arah dapur, meraih cerek untuk diisinya air, seperti biasa kalau dia akan membuat minuman hangat untuk sang nenek. Tapi cerek itu diletakkannya kembali, saat tak ada lagi yang harus dibuatkan kopi pahit seperti biasanya.
Aliyah menahan derai air matanya, lalu berwudhu dan bersujud. Isaknya sangat menyayat. Bagaimana mungkin bisa menghilangkan duka kehilangan orang yang dicintai dalam sehari saja?
Aliyah minum seteguk air putih. Ada sisa roti yang ditinggalkan tetangga kampung, yang kemudian dilahapnya perlahan. Aliyah sangat lapar, tapi selera makan hilang tersaput duka. Ia merasa, sepotong roti itu cukup untuk mengisi perut. Kemudian Aliyah pergi mandi.
“Aku tak bisa menunggu pak RT mencarikan pekerjaan. Aku juga harus berusaha. Tapi ke mana? Entahlah, daripada kalau di rumah aku selalu sedih, aku akan keluar mencari pekerjaan."
Aliyah sudah mandi, lalu berganti pakaian dengan pakaian terbaik yang dimilikinya, lalu berjalan keluar rumah, entah kemana, Aliyah membiarkan semau kakinya melangkah.
***
Aliyah sudah berjalan cukup lama, tapi tak tahu harus meminta pekerjaan pada siapa. Ia menyadari tak berpendidikan tinggi, dan seperti kata pak RT, pantasnya hanya jadi pembantu. Baiklah, apapun itu, ia akan menjalaninya. Tapi dia tak tahu, bagaimana harus memulai mengatakan kepada salah seorang majikan, atau pemilik toko, atau pemilik rumah makan, bahwa dia membutuhkan pekerjaan? Aliyah masih sangat belia, dan tidak tahu harus bicara apa. Pasti sulit mengatakan sesuatu pada orang yang baru dikenalnya.
Hari sudah siang, Aliyah duduk di sebuah bangku di pinggir taman. Kepalanya terasa pusing, tubuhnya lemas. Baru sepotong roti memasuki perutnya, tadi pagi.
Aliyah berdiri, agak terhuyung, ia tak tahu harus melakukan apa, lalu memutuskan untuk pulang. Dia menyusuri trotoar yang tak begitu lebar, melangkah pelan karena tubuhnya terasa berat. Di depan sebuah bank, ia menoleh ke dalam. Melihat beberapa orang keluar masuk, lalu ada gadis berseragam rapi, melintas di depan pintu yang terbuat dari kaca. Alangkah senangnya, bekerja dengan seragam apik, sepatu berhak tinggi, kelihatan anggun dan berwibawa. Lalu apakah aku ini? Pakaian lusuh, wajah kusut, pendidikan tak punya arti, tapi kalau boleh jadi pelayan di situ, aku juga mau. Bolehkah?
Aliyah menggelengkan kepalanya, lalu kembali melangkah. Ada sebuah restoran besar, mobil-mobil berderet di depannya. Ia teringat janji pak RT, yang akan mencarikan pekerjaan sebagai pelayan di restoran. Ia melihat orang-orang duduk sambil makan, dan pelayan melayani dengan seragam rapi. Ah, aku pasti juga tak pantas bekerja di situ.
Aliyah terhuyung, perutnya terasa melilit. Barangkali dia memang harus makan. Ia meraba sakunya, ada beberapa lembar uang yang dia bawa. Ia harus makan.
“Itu, ada warung makan di depan,” bisiknya pelan, sambil terus melangkah.
Tapi tiba-tiba semua terasa gelap, Hari sudah siang, menjelang sore. Aliyah meraih sebatang pohon sebelum tubuhnya limbung, lalu dia tak ingat apa-apa.
***
Pak RT heran, ketika tak melihat Aliyah di rumahnya. Ia ingin mengatakan, bahwa ada yang mau menerimanya, tapi sebagai pembantu rumah tangga. Lalu dia pulang dengan kecewa.
“Mana Aliyah Pak?” tanya istrinya.
“Nggak ada, rumahnya kosong, dikunci. Pastinya Aliyah pergi.”
“Waduh, padahal bu Waskita ingin segera mendapat jawaban,” sahut bu RT.
“Ya sudah, kita tunggu saja sebentar, barangkali dia sedang pergi untuk beli sesuatu, atau makanan.”
“Dia kelihatan sedih.”
“Ya pastilah Bu, selama ini dia hanya hidup bersama neneknya. Lalu neneknya meninggal. Kasihan sebenarnya.”
“Kalau saja aku punya uang cukup, mau juga menjadikannya sebagai pembantu. Tapi sebenarnya nggak butuh juga sih, kita hidup hanya berdua, anak-anak sudah tidak bersama kita. Cari pembantu untuk apa, coba.”
“Ya bukan untuk kita Bu, kan saat ini ada yang butuh.”
“Iya, semoga Aliyah mau. Dia itu sebenarnya cantik ya Pak, kalau didandanin sedikit saja, pasti kelihatan cantiknya. Coba kalau dia sekolah agak tinggi sedikit, misalnya SMA, gitu, pasti pelayan toko juga mau menerima dia. Kalau sekolahnya hanya SMP, pelayan pun juga hanya yang bagian bersih-bersih, cuci piring, ngepel lantai.”
“Neneknya juga hanya pembantu rumah tangga, mana mampu menyekolahkan cucunya. Sampai SMP saja sudah lumayan.”
“Itu pun sudah lama lulusnya. Aliyah itu umurnya kan sudah sekitar delapan belas-an tahun, sama anak bungsu kita jauh di bawahnya.”
“Aku mau istirahat dulu Bu, coba sebentar lagi, ibu saja yang nyamperin ke rumahnya.”
***
Hari sudah sore, Aliyah membuka matanya, dan merasa heran karena dia berada di sebuah kamar yang asing. Ia mengingat-ingat, apa yang tadi dilakukannya. Jalan-jalan, istirahat di taman, lalu jalan lagi, melihat-lihat perkantoran dan rumah makan, lalu dia merasa pusing, lemas, lalu limbung, lalu tak ingat apa-apa lagi.
“Di mana aku ini? Ini jelas bukan rumahku. Ini kamar yang walaupun kecil, tapi bersih. Kamar siapa? Dan siapa yang membawaku kemari?” gumamnya lirih.
Aliyah mencoba bangun, kepalanya terasa berdenyut. Ia melihat segelas air di nakas, sebelah dia tidur.
“Itu minuman siapa? Bolehkah aku meminumnya?”
Tak tahan kerongkongannya kering, Aliyah meraih gelas berisi air putih itu, dan meneguk hampir setengahnya.
“Ya ampun, entah milik siapa minuman itu. Aku merasa lebih segar,” gumamnya lagi.
Aliyah bangkit, melihat ke sekeliling kamar. Ada kaca kecil di meja, ada sisir. Jelas meja itu untuk bersisir. Tak ada bedak, atau peralatan lainnya yang biasanya dipakai wanita.
“Ya Tuhan, ini kamar laki-laki,” Aliyah memekik.
Lalu tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Seorang laki-laki tegap muncul di depan pintu. Aliyah mundur sampai menyentuh tempat tidur, dimana tadi dia terbaring.
Laki-laki itu tersenyum, tapi Aliyah terkejut, ketika dia mendekatinya.
“Jangan,” pekik Aliyah yang tanpa sadar justru melompat ke atas tempat tidur.
***
besok lagi ya...
0 Komentar:
Posting Komentar