//iklan google Cerpen Cintaku Bukan Empedu Part #08 Tien Kumalasari - Ceritamu

Cerpen Cintaku Bukan Empedu Part #08 Tien Kumalasari

thumbnail-cadangan

Cerpen Sambungan Cintaku Bukan Empedu 07 Tien Kumalasari

***

Mata bengis iti tidak sepadan dengan wajahnya yang tampan. Harusnya wajah seperti itu bermata teduh, tersenyum lembut. Tidak, mata itu sangat garang. Bagai mata singa yang siap memangsa.

Aliyah beringsut. Mau lari kemana kalau pintu itu terkunci, dan mata garang itu melangkah mendekatinya?

“Narita !!” hardiknya.

Aliyah merasa ia salah mendengar. Apa serigala itu meneriakkan sebuah nama? Dan itu bukan namanya?

“Narita!!” suaranya semakin keras.

Aliyah segera mengerti, bahwa laki-laki itu salah orang. Namanya bukan Narita. Pasti dia akan segera dilepaskan dan dia akan segera berlari pulang, walau dia tidak mengerti sedang berada di mana. Harapan itu membuatnya sedikit tenang. Dimana pun dia berada, dia akan berusaha pulang, kalau laki-laki garang itu melepaskannya.

“Namaku bukan Narita,” lirihnya.

“Apa? Kamu merasa bahwa kamu bisa kabur dari aku dengan membawa hartaku? Walau kamu merubah penampilan kamu, tatanan rambutmu, pakaian lusuh seperti pelayan, tapi aku tetap mengenali kamu, Narita!” teriak laki-laki itu keras.

“Tolong, aku bukan Narita.”

Tiba-tiba laki-laki itu menjambak rambutnya, lalu menghempaskannya ke lantai. Aliyah kesakitan, dan merasa pusing.

“Tolong lepaskan aku, aku bukan Narita.”

“Aku akan mengambil semua yang kamu bawa, dan membalas semua perbuatan kamu dengan kejam!”

Aliyah terisak.

“Namaku Aliyah,” suaranya gemetar.

“Persetan dengan apapun yang kamu tutupi dari aku. Bagiku, kamu adalah Narita. Ya Tuhan, Narita, kalau kamu tahu, betapa aku mencintai kamu. Bahkan sampai detik ini, Narita,” suara laki-laki itu berubah pelan. Ia berjongkok, meraih dagu Aliyah dengan lembut.

“Aku sangat mencintai kamu,” lalu dielusnya wajah Aliyah. Aliyah bergidik. Ia belum pernah disentuh pria, apalagi dengan suara lembut dan senyuman manis seperti itu.

Tapi tak lama. Tiba-tiba mata itu kembali garang, senyuman manis itu berubah menjadi seringai yang mengerikan. Aliyah gemetar. Lalu laki-laki itu kembali menjambak rambutnya. Diangkatnya wajah Aliyah dengan rambut masih dalam genggaman tangannya.

“Tolong, Anda salah orang,” rintih Aliyah, hampir tak terdengar,

“Kemana kamu sembunyikan hartaku? Kamu berikan kepada laki-laki bedebah itu kan? Katakan, dimanaaaa!!!”

Aliyah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, yang terasa sangat nyeri.

“Kamu lupa, ketika kamu membodohi aku dengan suara lembutmu, “Alfi, hanya kamu laki-laki yang aku cintai” …Kamu lupa?” Laki-laki yang memang adalah Alfian itu berteriak lebih keras.

“Ya Tuhan, namaku bukan Narita, aku Aliyah,” rintih Aliyah, memelas, sambil air matanya bercucuran.

“Perempuan busuk!”

“Dengar aku, kamu salah orang, aku bukan Narita, biarkan aku pergi.”

“Diaaamm! Aku sudah tahu, betapa pintarnya kamu! Tapi kali ini aku tak mau mendengar apa-apa yang kamu katakan.”

Alfian melepaskan rambut Aliyah, kemudian beringsut mundur, lalu duduk bersandar di tembok, persis di hadapan Aliyah, yang sudah bangkit dan menahan seluruh rasa sakit yang menggigit di tubuhnya.

Tiba-tiba Aliyah terkejut, melihat sepasang mata garang itu meneteskan air mata. Amarah yang menggelegak di hati Aliyah tiba-tiba runtuh. Aliyah gadis yang lembut hati dan penuh kasih sayang. Ia sudah disakiti, tapi ia merasa trenyuh melihat kesedihan yang tersirat di wajah laki-laki yang menyiksanya.

“Mengapa kamu tega? Tega menyakiti Alfi mu yang dulu kamu bilang sangat kamu cintai? Aku masih cinta, Narita, sampai detik ini, aku masih cinta sama kamu,” suara itu seperti merintih.

Aliyah mendengar bisikan lirih dari bibir yang sekarang tampak pucat, dan seperti meremas perasaannya. Ingin sekali dia mendekat dan menghiburnya. Ia sekarang tahu, laki-laki aneh itu bernama Alfi.

“Pak Alfi, Anda harus percaya, saya bukan Narita. Nama saya Aliyah, biarkan saya pergi, ya,” kata Aliyah memberanikan diri.

Tanpa diduga, Alfi mengangkat wajahnya, lalu mengusap matanya dengan kasar. Tiba-tiba dia berdiri, dan kembali menatap Aliyah dengan garang.

“Perempuan pembohong!!” teriaknya.

Lalu dia melangkah ke arah pintu, membukanya.

“Kamu akan tetap aku kurung di sini, sampai kamu mengaku, dimana kamu simpan semua harta yang kamu larikan. Selama itu juga, aku akan selalu menyakiti kamu,” katanya tandas, penuh ancaman.

Aliyah ingin membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Aliyah, tapi Alfi sudah keluar lalu menutup kembali pintunya dengan kasar, lalu terdengar suara kunci diputar.

Aliyah putus asa.

“Aku bukan Naritaaaaa!!” jeritnya yang kembali hanya menimbulkan gema di ruangan itu.

***

Alfian duduk bersandar di sofa, sendirian. Ia merasa lelah dan kesal. Narita, gadis yang dicarinya dan dianggapnya sudah ditemukannya, tak mau mengakui siapa sejatinya dirinya. Ia menyamar menjadi gadis lusuh bernama Aliyah, dan itu membuatnya semakin jengkel.

“Faraaaahhh,” tiba-tiba Alfian berteriak.

Seorang gadis, hitam manis, bergegas mendekat.

“Ya, tuan.”

“Ambilkan aku minum.”

“Tuan mau minum apa? Ada jus tomat, atau teh manis, atau_”

“Air putih !!” Alfian berteriak.

“Baik, jangan berteriak, tuan. Telinga saya jadi sakit,” kata Farah mengomel.

“Diaaaam!!”

Farah bergegas ke belakang untuk mengambilkan pesanan tuannya.

Farah adalah anak dari pembantu orang tua Alfian, yang sejak kecil menjadi teman bermain bagi Alfian. Setelah dewasa, dan Alifian punya rumah sendiri, Farah diminta Alfian agar melayaninya di rumah itu. Karena mengenal dekat sejak masih kanak-kanak itulah, Farah berani mengomeli Alfian, walau selalu tunduk pada apapun yang menjadi perintahnya.

“Faraaaaahhh!” Alfian berteriak lagi, karena dianggapnya Farah terlalu lama.

Farah hampir berlari, mendekat sambil membawa nampan. Segelas air putih ada di atasnya. Farah belum sempat meletakkannya, Alfian sudah meraihnya, dan meneguknya habis.

Farah merengut kesal, sambil beranjak ke belakang.

“Heeii, siapa menyuruh kamu pergi?” teriak Alfi lagi.

Farah berhenti melangkah .

“Sini kamu!”

“Baiklah, tapi tolong jangan berteriak-teriak. Kenapa sih, akhir-akhir ini suka sekali berteriak?” omel Farah lagi. Tapi Alfian tidak pernah marah walau Farah mengomelinya panjang pendek. Farah adalah pembantu kesayangannya, yang selalu menemaninya bermain, kala masih kanak-kanak dulu. Terkadang Alfian tersenyum sendiri. Dia suka nakal dan jahil pada Farah. Menyembunyikan boneka mainannya, lalu memasukkannya ke dalam parit yang ada di luar pagar rumahnya. Tentu saja Farah menangis menjerit-jerit.

“Duduk, jangan berdiri di situ.”

Farah menjatuhkan tubuhnya ke lantai, bersimpuh di depan tuannya, tak mengucapkan apapun, hanya menunggu perintah.

“Kamu sudah tahu? Aku sudah menemukan Narita.”

“Ya, mas Kirman sudah cerita. Kenapa tuan menguncinya di kamar depan?”

“Dia sudah membohongi aku. Kamu kan sudah mengerti? Orang tua aku malu karena resepsi yang akan digelar menjadi batal. Dan dia melarikan semua uang yang ada di dalam ATM aku?”

“Lalu akan tuan apakan dia?”

“Akan aku siksa dia, sampai dia mau menunjukkan di mana harta yang dia larikan.”

“Tuan, mengapa harus menyiksa dia? Tuan bisa memaksanya dengan ancaman, misalnya lapor ke polisi. Pasti dia mau mengaku.”

“Tidak. Aku harus menyiksanya, karena dia juga membuat aku tersiksa.”

 “Kasihan, tuan. Bagaimana tuan menyiksanya?”

“Aku jambak rambutnya, aku banting dia, aku maki-maki dia.”

“Ya ampun tuan, kejam sekali. Apakah dia kemudian mengaku?”

“Dia itu perempuan licik. Dia mengaku bahwa namanya bukan Narita. Dia berpakaian kumuh saat belanja kepasar, tapi aku tidak tertipu oleh penampilan palsunya.”

“Tuan masukkan dia ke kamar kosong itu, dan menguncinya?”

“Ya. Tapi tolong beri dia makan. Jangan sampai dia mati sebelum dia mengakui semuanya.”

Farah melangkah menuju ke arah kamar kosong yang terletak di bagian depan rumah itu. Tapi ia tak bisa membukanya.

“Tuan, mana kuncinya?” teriak Farah di depan pintu kamar kosong itu.

“Ini, kemari kamu! Malah berteriak-teriak,” kesal Alfian.

Farah kembali mendekati tuannya untuk mengambil kuncinya.

“Bawakan minum, dan makan, jangan yang enak-enak,” perintah Alfian.

“Iya, saya bawakan sekalian,” jawab Farah sambil beranjak ke belakang.

Farah mengambil segelas minum dan makanan.

“Jangan sekali-sekali kamu percaya apa yang dikatakannya. Dia itu pembohong besar. Seperti ketika dia membohongi aku dengan kata-kata manis. Jangan lupa kunci kembali pintunya kalau kamu sudah keluar dari sana,” kata Alfian ketika Farah melintas di sampingnya. Farah tak menjawab, dia terus saja melangkah lalu membuka pintu kamar kosong itu.

“Awas kalau sampai dia lari, kamu harus menggantikannya,” masih terdengar lagi pesan Alfian, saat dia membuka pintu kamar itu.

Farah terkejut melihat keadaan Aliyah, yang bersandar di tembok dengan rambut awut-awutan. Ia mendekat setelah kembali menutup pintunya.

“Non, mengapa menjadi seperti ini?”

Aliyah menatap siapa yang mendekat. Farah meletakkan nampan berisi makan dan minum itu di lantai, kemudian bersimpuh di depan Aliyah.

“Minumlah dulu Non,” kata Farah sambil mengangsurkan gelasnya.

Aliyah ingin mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya terasa kering. Karenanya dia menerima gelas yang di angsurkan gadis manis itu, lalu meminumnya separuh.

Farah menerima gelasnya, lalu mendekatkan piring berisi nasi dan lauk pauknya itu ke depan Aliyah.

“Makanlah Non. Maaf, hanya ada itu lauknya.”

Aliyah agak risih dengan panggilan Non itu.

“Jangan panggil aku Non,” katanya lirih.

“Makanlah dulu, Non tampak pucat.”

Sejak pagi Aliyah belum makan apapun. Perutnya kosong, ditambah kejadian yang membuatnya terkejut, dan sakit. Ia tak ingin menyentuh makanan itu, tapi perutnya terasa melilit.

“Kamu siapa?”

“Ya ampun Non, masa Non lupa, atau pura-pura lupa? Saya Farah, pembantu tuan Alfian.”

“Tapi aku tidak pernah mengenal kamu.”

Farah diam. Ia sudah diberi tahu oleh majikannya, bahwa Narita yang ditemukannya pandai berpura-pura, jadi dia diam saja ketika Aliyah mengatakan nggak mau dipanggil Non, bahkan pura-pura lupa pada dirinya. Tapi sebenarnya Farah heran. Non Narita sangat cantik, dan selalu berpakaian modis, selalu mengenakan make up tebal untuk lebih mempercantik wajahnya. Kenapa gadis di sepannya ini, walau cantik tapi kelihatan lusuh dan pakaiannya juga kumuh? Dan lagi-lagi Farah percaya bahwa Narita sedang berpura-pura.

“Non, lebih baik Non makan saja dulu, supaya tuan Alfi tidak bertambah marah. Ayo Non, makan. Masa harus saya suapin?”

“Tapi aku bukan Non, namaku Aliyah,” Aliyah mencoba menerangkan siapa dirinya.

“Baiklah, tapi makanlah dulu. Non sangat pucat. Setelah ini, akan saya ambilkan Non baju ganti. Oh ya, mandi dulu saja supaya segar. Itu ada kamar mandi, nanti saya ambilkan sabun dan semua keperluan mandi.”

“Biarkan aku pergi saja.”

“Non, daripada Non di siksa lagi, lebih baik Non menurut saja. Sekarang makanlah, saya akan mengambilkan semua keperluan Non untuk mandi dan baju ganti.”

Aliyah merasa putus asa. Tubuhnya terasa lemas. Ia teringat ketika hampir pingsan karena kelaparan, lalu Pinto menolongnya. Air matanya berlinang teringat kebaikan Pinto. Tahukah Pinto apa yang terjadi? Akankah dia menolongnya? Kata hati Aliyah.

“Non, makanlah.”

Aliyah meraih piring berisi nasi, ada ikan goreng dan ca sayur. Kalau saja dia tidak sedang tersiksa, makanan itu pasti dianggapnya makanan mewah, karena jarang sekali dia makan ikan. Sekali makan daging rendang, ketika Pinto memberikannya. Aduhai, lagi-lagi teringat Pinto.

Aliyah menyibakkan rambutnya yang awut-awutan. Farah merasa lega ketika melihat Aliyah menyuap makanannya. Kemudian dia berdiri, dan beranjak keluar dari kamar itu. Batin Aliyah teriris ketika mendengar suara kunci di pintu itu. Sadar bahwa dia terkunci lagi di kamar itu. Tapi kemudian ia juga sadar, bahwa dia harus makan, supaya punya kekuatan. Siapa tahu dia bisa melarikan diri.

***

“Kasihan sekali, tuan,” kata Farah ketika melintas disamping Alfian, yang masih saja termangu di atas sofa.

“Sudah aku bilang, jangan terpengaruh penampilannya, atau apa yang dikatakannya. Dia itu ular.”

Farah tak menjawab, lalu beranjak ke belakang. Dia mengambil sabun di almari persediaan, sikat gigi dan pasta giginya, lalu mengambilkan baju di kamarnya sendiri. Di rumah itu, hanya dia yang perempuan, jadi kalau mau memberikan baju ganti, pastinya juga harus mengambil di almari pakaiannya sendiri.

“Agak sungkan sih, masa non Narita aku beri baju ganti seperti ini,” gumam Farah sambil membuka almari bajunya dan memilih-milih.

“Tapi daripada pakaian yang tadi dipakainya? Hm, memang pintar sekali ya Non Narita berpura-pura. Hanya mau ke pasar saja, menyamar menjadi orang miskin, supaya tidak ketahuan tuan Alfian. Tapi wajahnya kan tidak bisa menipu. Kecuali kalau dia melakukan oplas. Kenapa tidak melakukannya ya,” Farah bergumam terus sambil mengambil salah satu baju terbaiknya, lalu membawa semuanya itu kembali ke kamar, dimana ‘Narita’ berada.

Bersambung..

Cerpen Cintaku Bukan Empedu Part #08 Tien Kumalasari

***

Besok lagi ya.

Show comments
Hide comments

0 Komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

 

TENTANG KAMI

Blog ini memiliki visi membantu penulis pemula untuk menjadi penulis yang berkelas. Kami menyediakan artikel-artikel seputar menulis cerpen, menulis novel, tips menang lomba, dan kami juga merekomendasikan buku yang bagus untuk dibaca.