Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari

Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari
***
Luminto adalah orang yang sangat beruntung. Dia seorang pengusaha kaya, memiliki dua orang istri yang cantik, tapi hidup serumah dengan sangat rukun.
Istri tua bernama Ratna Arumi memiliki seorang anak laki-laki bernama Adrian Pratama, sedangkan istri muda bernama Sasmi Mutiah, memiliki seorang anak laki-laki pula bernama Roy Adibrata.
Mereka hidup dalam sebuah keluarga, rukun dan saling mengasihi. Kedua anak lelaki Luminto membantu di perusahaan ayahnya. Tapi keduanya memiliki sifat yang agak berbeda. Adrian sangat lembut dan penurut, sedangkan Roy walaupun berhati baik tapi agak tempramental.
Mereka seumuran, karena dulu ke dua istri Luminto hamil bersama-sama, dan lahir dalam jarak hanya satu bulan. Adrian lebih dulu.
Sasmi dan Ratna juga bisa hidup sebagai madu, yang sangat rukun dan membuat banyak orang mengagumi mereka. Mereka juga penuh kasih sayang, dan berbagi tugas dengan seiring sejalan.
“Sasmi, masak apa kita hari ini?”
“Terserah Mbak Ratna saja. Tapi bukanlah kemarin kita menginginkan urap dan ikan goreng? Ikannya sudah siap di freezer tuh.”
“Oh iya, aku lupa. Nanti kamu menggoreng ikannya, aku yang membuat sayur urapnya ya.”
“Siap Mbak, tapi aku mau ke warung sebentar.”
“Beli apa lagi? Katanya sudah lengkap semuanya.”
“Lupa daun jeruk sama kencurnya, aku beli di warung saja dulu ya Mbak. Mbak mau nitip apa?”
“Nggak ah, oh itu … nitip keripik kacang yang di warungnya Pratiwi. Enak sekali dan renyah lho itu.”
“Cocok Mbak, bisa untuk pelengkap lauk nanti.”
“Kalau begitu beli yang banyak Sas, sambil untuk cemilan dong.”
Sasmi tertawa.
“Bagus, aku juga suka. Jangan-jangan malah yang untuk makan nanti habis karena dicemilin oleh kita.”
Kedua nyonya Luminto itu terkekeh bersama.
“Kalau begitu beli yang banyak,” pesan Ratna.
“Siap, aku sudah menyiapkan wadah nih.”
“Tinggalin saja, biar aku bersihkan wadahnya, nanti kalau kamu datang tinggal dimasukkan ke dalam toples ini.”
Sasmi mengacungkan jari jempolnya, kemudian melangkah ke warung Pratiwi.
“Begitu Sasmi datang, ibu-ibu yang kebetulan sedang belanja saling bersahutan menyapanya, karena keluarga Luminto memang terkenal baik hati dan dermawan.
“Tumben belanja di sini Bu,” sapa mereka bersahutan.
“Lho, saya sering belanja di sini kok ya, Tiwi,” kata Sasmi kepada Pratiwi.
“Iya, kadang-kadang bu Sasmi atau bu Ratna juga belanja di sini kok.”
“Ini Wi, aku cuma mau beli bumbu dapur.”
“Oh iya Bu, ini sudah bungkusan. Cuma ini Bu?”
“Iya, yang ada kencur sama daun jeruknya ya?”
“Ada Bu, lengkap isinya. Ada salam, laos, kunyit, kencur, daun jeruk, sereh.”
“Ya sudah, ini saja. Berapa Wi?”
“Cuma dua ribu saja.”
“Baiklah, aku ambil dua,” kata Sasmi sambil memberikan uang lima ribuan.”
“Kembaliannya Bu.”
“Sudah, biarin saja. Ibu-ibu, maaf saya mendahului ya.”
“Ya Bu, nggak apa-apa, sahut mereka hampir bersamaan. Tapi kemudian Sasmi kembali lagi.
“Ada yang lupa Wi. Keripik kacangnya ada?”
“Ada Bu, baru saja di kirim.”
“Aku beli sepuluh bungkus ya,” kata Sasmi sambil meletakkan uang lima puluhan ribu.
Sasmi memasukkan keripik yang di belinya kedalam tas yang disediakan oleh Pratiwi, kemudian berlalu.
“Wi, kembaliannya biar saja dulu. Nanti sore aku ingin pijit sama ibumu. Bisa kan kamu mengantarkan ?”
“Bisa Bu, setelah Isya ya Bu.”
“Ya, sudah lama pengin dipijit,” kata Sasmi sambil berlalu, setelah melambaikan tangannya kepada ibu-ibu yang sedang belanja.
“Banyak bener keripiknya,” celetuk Ratna sambil membuka salah satu bungkus keripiknya, kemudian mencomot isinya.
“Katanya suruh yang banyak, sambil di cemil-cemil.”
“Iya benar. Biar aku taruh di toplesnya saja semua. Itu bumbu urap sudah aku siapkan. Ikannya sudah aku keluarkan dari freezer.
“Baik Mbak, kita masak sebentar lagi, kayaknya keripik ini minta disantap terlebih dulu.”
Lalu keduanya terkekeh sambil menikmati keripik kacang yang baru dibeli.
Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari
***
Di kantor, sudah saatnya makan siang. Pak Luminto selalu mengajak kedua anaknya makan di luar. Tapi kali ini ia ingin makan di rumah bersama-sama.
Saat memberi tahu ke rumah, Sasmi dan Ratna menjadi sibuk menyiapkan makan siang, karena tak mengira suami dan anak-anak mereka akan pulang makan. Tapi untunglah, begitu mereka datang, semuanya sudah siap.
“Hm, masak apa ibu hari ini?” tanya pak Luminto.
“Mbak Ratna masak urap sayur yang segar.”
“Woow, pasti enak.”
“Sasmi menggoreng ikan. Pokoknya semua ditanggung enak. Ayo silakan semuanya, seneng bisa makan rame—rame,” kata Ratna dengan gembira.
“Ini urap buatan Ibu, selalu enak. Dan goreng ikannya, juga sedap,” kata Roy sambil menambah nasi di piringnya.
“Besok, kalau kamu punya istri, cari yang pinter masak seperti ibu-ibu kita ini,” kata Adrian.
“Kok aku? Kamu duluan dong, kan kamu lebih tua,” sergah Roy..
“Aku belum punya pacar, kamu tuh, yang teman perempuannya banyak.”
“Eeh, kata siapa? Mereka yang ngedekatin aku, bukan aku yang mau ya … “
“Anak Bapak ganteng, tentu saja banyak gadis yang suka,” celetuk pak Luminto.
“Tapi Adrian kan lebih tua Pak. Segera kawinin dia Pak,” kata Roy.
“Iya, tapi bapak serius nih, kalian itu sudah saatnya menikah. Segera pilih, mana gadis yang kalian suka. Jangan hanya bersenang-senang saja.”
“Kan Adrian yang lebih tua, Pak,” jawab Roy.
“Kalian itu hanya terpaut sebulan, jadi bersama-sama juga boleh, mau Roy dulu atau Adrian dulu ya tidak ada salahnya.
Kedua istri yang duduk berdampingan hanya saling pandang dan tersenyum-senyum mendengar perbincangan mereka.
“Aku sih belum ingin …” kata Roy.
“Aku apalagi.”
“Kamu itu nungguin apa sih Nak, kelamaan, tahu. Bapak sama ibu-ibu kamu itu sudah pengin jadi kakek dan nenek.”
“Eh, jangan dulu jadi nenek-nenek Bu. Ibu kan cantik-cantik semua, kalau cepet-cepet jadi nenek bisa hilang dong cantiknya.
“Kata siapa bisa hilang? Naruhnya juga di sini-sini juga kok bisa hilang,” kata Ratna.
“Tuh, ibu bercanda kan. Aku bilang tuh serius. Ibu-ibu itu akan hilang cantiknya kalau sudah jadi nenek,” sambung Roy.
“Nggak bener kalian itu. Ibu-ibu kalian itu, biarpun jadi nenek seribu kali, juga tetep saja cantik,” sergah sang bapak.
“Tuh, kalau bukan suaminya siapa lagi yang mau ngebelain,” sambung Adrian.
“Bapak tuh ngajakin kita makan siang di rumah, ternyata hanya untuk berbicara tentang jodoh,” seru Roy sambil memasukkan suapan terakhirnya.
“Benar,” sambung Adrian.
“Kalian itu memang sudah dewasa, benar apa yang bapak katakan, bahwa sudah saatnya kalian memilih jodoh yang baik untuk kalian, jangan hanya bersenang-senang saja dengan banyak gadis,” kata Ratna.
“Iya benar, nggak bosan apa, gonta ganti pacar setiap saat,” sambung Sasmi.
“Yeee, Ibu, kata siapa kita gonta ganti pacar. Kita belum pernah pacaran lhoh,” kata Roy.
“Nah, justru karena hanya berteman, senang-senang ke sana-kemari, itu yang kurang bagus. Akhirnya kalian tidak memikirkan diri sendiri untuk masa depan kalian, ya kan?” kata Ratna lagi.
“Dengar tuh, kata ibu kalian.”
“Iya deh, mulai nanti kita akan cari pacar ya Roy?”
“Setuju.”
“Heei, siapa suruh cari pacar, cari istri. Pacaran itu nggak bagus,” kata ayahnya.
Adryan meleletkan lidahnya, dan Roy hanya mengangguk-angguk.
“Ya sudah, kita harus segera kembali ke kantor, aku ada janji sama klient jam dua ini,” kata Adrian yang menjabat sebagai manager pemasaran di kantornya.
“Baik, kita sudah selesai. Ikan di meja juga sudah berenang di dalam perut kita masing-masing, jadi saatnya kita kembali ke kantor,” kata Roy.
Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari
***
“Ikan itu kan harusnya untuk persediaan makan malam, Sekarang tinggal satu potong. Apa aku beli dulu ke pasar Mbak.”
“Nggak usah, masak yang lain saja. Yang sudah ada di persediaan. Besok pagi saja kita belanja semua kebutuhan dapur.”
“Baiklah, kalau begitu, Tapi sekarang aku ngantuk. Oh ya, aku tadi pesen sama Pratiwi, agar mengantarkan yu Kasnah kemari setelah Isya.”
“Oh, mau pijat?”
“Iya, sudah lama nggak pijat Mbak, lagi pula kangen sama yu Kasnah, ceritanya banyak.”
“Kamu seperti anak kecil saja, suka mendengar dongeng.”
Iya, habis dongengnya bagus-bagus. Sampai ketiduran kalau dipijit sambil mendengarkan dongeng.”
“Kalau begitu aku juga mau deh.”
“Tuh kan, tertular kangennya sama yu Kasnah.”
“Sambil pengin ngasih apa, gitu lho Sas. Yu Kasnah itu kan buta, penghasilannya memijit ke sana-kemari juga tidak banyak. Biarpun Pratiwi membantu jualan sayur, pasti hidupnya juga pas-pasan.”
“Kasihan Pratiwi juga, masih muda harus membanting tulang untuk menghidupi ibunya yang buta dan adiknya yang masih sekolah.”
“Pratiwi itu lulusan apa sih? SMP ya?”
“Sepertinya sampai SMA kok. Nanti Mbak tanyakan deh, kalau orangnya ada.”
“Ya sudah, kamu tidur saja sana, katanya ngantuk?”
“Iya, aku tidur sebentar ya Mbak. Bangunin kalau aku sudah satu jam.”
“Iya, kalau aku tidak ikut ketiduran.”
“Wah, Mbak Ratna itu ada-ada saja. Aku bunyikan alarm deh.”
***
“Ibu makan dulu, Pratiwi sudah masak nih.”
“Masak apa, jam berapa ini, kok sudah nawarin makan?”
“Ini sudah jam satu Bu.”
“Sayuran sudah habis semua?”
“Sudah, tadi memang Pratiwi tidak belanja terlalu banyak, soalnya akhir-akhir ini agak sepi.”
“Sepi ya?”
“Sejak di kampung sebelah ada juga yang buka jualan sayur, pelanggan Tiwi agak berkurang, hanya yang dekat-dekat sini saja.”
“Ya sudah, namanya rejeki itu, sedikit atau banyak harus disyukuri. Tidak apa-apa, yang penting kita masih bisa makan, dan adikmu Nano, bisa sekolah.”
“Iya Bu.”
“Semoga masih ada yang mau mempergunakan tenaga ibu. Walaupun tukang pijit, tapi sedikit banyak kan bisa membantu kebutuhan rumah dan sekolah adikmu.”
“Iya Bu. Malah jadi ingat. Malam nanti ibu dipanggil bu Sasmi. Pengin dipijit, katanya.”
“Oh ya? Syukurlah, uang ibu juga sudah menipis, sementara Nano sudah saatnya bayar sekolah lagi.”
“Tiwi juga sudah menyisihkan uang untuk Nano kok Bu, simpan saja dulu uang Ibu.”
“Ibu itu kasihan sama kamu. Masih muda, jadi kehilangan masa muda kamu karena harus melanjutkan pekerjaan ibu dulu, jadi tukang sayur. Habis mau bagaimana lagi, setelah kecelakaan itu dan ibu menjadi buta, tak bisa lagi berjualan. Untunglah ibu bisa memijit dan terkadang kerikan juga. Jadi bisa untuk mencukupi kebutuhan.”
“Iya Bu. Ya sudah, sekarang ibu makan dulu.”
“Kamu masak apa, baunya seperti gudeg?”
“Bukan bu, sayur lodeh keluwih, sama goreng ikan asin.”
“Enak tuh. Ayo kamu makan sekalian.”
“Tiwi menunggu Nano pulang sekolah. Sekarang menemani ibu makan dulu. Kalau tidak ditemani, Nano itu makan sesukanya. Buru-buru pengin main sama teman-temannya.”
“Ya sudah, tapi nanti dikasih tahu dia, jangan terlalu banyak main, nanti pelajaran sekolahnya terganggu. Ibu ini biarpun tidak sekolah apalagi buta, tetap pengin anak-anak ibu mengecap bangku sekolah. SMA saja untuk orang seperti kita sudah cukup. Ya kan?”
“Iya Bu, semua harus disyukuri,” kata Tiwi yang sebenarnya ingin melanjutkan kuliah, tapi berhubung tidak ada biaya, lalu terpaksa melanjutkan pekerjaan ibunya berjualan sayur. Ayahnya sudah lama meninggal, jadi Pratiwi harus membantu mencukupi kebutuhan, apalagi adiknya, Nano, masih kelas lima SD dan sedikit banyak juga membutuhkan biaya.
Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari
***
Sore hari itu, setelah makan malam, Sasmi duduk di teras bersama Ratna, menunggu kedatangan yu Kasnah si tukang pijit yang dipanggilnya.
Adrian dan Roy sudah bersiap mau keluar, karena besok hari libur.
“Mau kemana?” tanya pak Luminto.
“Keluar sebentar pak,” jawab keduanya, kompak.
“Ingat kata bapak ya, kurangi kegemaran kalian keluar malam, hanya untuk bersenang-senang.”
“Iya Pak, bukankah Bapak ingin kami segera punya pacar?” kata Roy.
“Tidak. Bukan pacar, tapi istri,” tandas pak Luminto.
“Tuh, Roy selalu salah mengartikan apa kata Bapak,” sambung Adrian.
“Iya, ini kan juga sambil lihat-lihat Pak, barangkali ada yang cocok dijadikan istri.”
Keduanya mendekati sang ayah, lalu mencium tangannya, sebelum bersama-sama melangkah pergi.
“Ya sudah, sana … jangan malam-malam, pulangnya.”
“Okee,” teriaknya hampir bersamaan.
Mereka sudah sampai di teras, tapi tiba-tiba, ia melihat dua sosok berjalan memasuki halaman. Dan tiba-tiba pula, karena tersandung atau apa, keduanya jatuh tertelungkup di tanah.
“Eh, itu yu Kasnah,” teriak Ratna dan Sasmi, sedangkan Adrian dan Roy segera membantu membangunkan mereka.
“Pratiwi?” seru keduanya begitu melihat siapa salah satu yang ditolongnya.
Bersambung..
Cerpen: Setangkai Bungaku Part #01 Tien Kumalasari
***
Besok lagi ya.
0 Komentar:
Posting Komentar